Aku bertanya, tetapi pertanyaan-pertanyaanku membentur meja kekuasaan yang macet, dan papan tulis para pendidik yang terlepas dari persoalan kehidupan.

Rendra, Sajak Sebatang Lisong

Keadaan dunia pendidikan saat ini kurang lebih seperti apa yang telah direfleksikan Rendra lewat puisinya di atas. Utamanya pada bangku perkuliahan atau pendidikan tinggi. Melalui tulisan ini, penulis bermaksud untuk mengangkat salah satu permasalahan yang paling fundamental dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi, termasuk Unhas yaitu Biaya Perkuliahan sehingga dapat memantik kesadaran serta gagasan-gagasan pembaca sekalian.

Pengertian Pendidikan Tinggi menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 12 Tahun 2012 adalah jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program diploma, program sarjana, program magister, program doktor, dan program profesi, serta program spesialis, yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi berdasarkan kebudayaan bangsa Indonesia. Masih dari UU yang sama, saya mengutip tujuan yang ingin dicapai dari Pendidikan Tinggi yaitu:

  1. Berkembangnya potensi Mahasiswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, terampil, kompeten, dan berbudaya untuk kepentingan bangsa;
  2. Dihasilkannya lulusan yang menguasai cabang Ilmu Pengetahuan dan/atau Teknologi untuk memenuhi kepentingan nasional dan peningkatan daya saing bangsa;
  3. Dihasilkannya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi melalui Penelitian yang memperhatikan dan menerapkan nilai Humaniora agar bermanfaat bagi kemajuan bangsa, serta kemajuan peradaban dan kesejahteraan umat manusia;
  4. Dan terwujudnya Pengabdian kepada Masyarakat berbasis penalaran dan karya Penelitian yang bermanfaat dalam memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Menarik bukan? Terlepas dari kontroversi dan indikasi UU No. 12 Tahun 2012 ini merupakan hasil “kloning” dari Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP), indikasi Liberalisasi Pendidikan Tinggi dan “sengketa” kewenangan dalam otonomi pendidikan tinggi, pasal tersebut di atas telah menegaskan perihal urgensi dari pendidikan tinggi itu sendiri.

Lalu apa kabar dengan akses untuk menempuh pendidikan tinggi itu sendiri? Permasalahan ini akan penulis coba angkat dari sekian banyak permasalahan yang ada di Universitas Hasanuddin. Pendidikan yang seharusnya menjadi hak dari setiap warga negara (Pasal 31 ayat 1 UUD 1945) telah menjadi ‘komoditas’. Penerapan kebijakan UKT yang dilakukan oleh Unhas karena penetapannya sebagai Perguruan Tinggi Berbadan Hukum (PTN-BH) sejak tanggal 17 Oktober 2014 serta terbitnya Peraturan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Nomor 39 Tahun 2017 tentang Biaya Kuliah Tunggal dan Uang Kuliah Tunggal (sebelumnya Permenristek dikti No. 22/2015 dan Permenristek dikti No. 39/2016) telah menjadi dasar yang kuat. Walaupun pada awalnya sistem UKT disambut dengan baik karena dirasa telah meringankan beban mahasiswa karena penghapusan uang pangkal. Namun seiring berjalannya waktu, seperti yang terjadi di Unhas pula terjadi banyak sekali permasalahan dalam pelaksanaannya.

Seperti ketidakjelasan dari pelaksanaan ‘subsidi silang’, mekanisme penetapan ulang golongan UKT pada mahasiswa seperti yang tertera pada Permenristek dikti No. 39/2017, serta transparansi besaran BKT yang menjadi dasar penetapan UKT. Jika digiring lebih jauh, kejelasan mengenai aliran dana dari UKT juga ternyata belum jelas. Padahal jika merujuk pada UU No. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik yang diperjelas dalam PP No. 61/2010, lembaga-lembaga negara wajib untuk memberikan keterbukaan dalam hal ini transparansi dana ke publik. Fakta bahwasanya UKT yang telah dibayarkan mahasiswa pada beberapa program studi yang ada di Unhas tidak mencakup biaya kuliah lapangan yang jika ditelaah lebih lanjut merupakan satu kesatuan dengan pelaksanaan mata kuliah dengan kata lain merupakan kepentingan akademik mahasiswa.

Belum lagi perihal Dana Pengembangan yang sangat merisaukan ketika ‘dilaunching’ pada tahun 2018. Memang benar PTN dibenarkan untuk memungut uang pangkal dalam hal ini dana pengembangan untuk mahasiswa asing, mahasiswa kelas internasional, mahasiswa yang melalui seleksi jalur kerja sama dan mahasiswa yang melalui seleksi jalur mandiri jika merujuk pada Pasal 8 ayat 1 Permenristek dikti No. 39/2017, namun pada pasal yang sama pula di ayat 2 berbunyi Uang pangkal dan/atau pungutan lain selain UKT yang dikenakan kepada mahasiswa baru Program Diploma dan Program Sarjana yang melalui seleksi jalur mandiri tetap memperhatikan kemampuan ekonomi mahasiswa, orang tua mahasiswa, atau pihak lain yang membiayainya. Hal ini sangat berbeda dengan fakta yang terjadi, penetapan besaran langsung dari pihak birokrasi tanpa memperhatikan faktor-faktor tersebut.

Maka dari itu melalui tulisan ini pula, menawarkan gagasan kepada pembaca sekalian untuk bisa mengawal pelaksanaan peraturan. Langkah kongkrit yang bisa ditawarkan salah satunya melalui audiensi untuk meminta keterangan perihal implementasi dari peraturan-peraturan yang sudah penulis sebutkan di atas. Karena penyimpangan dari implementasi peraturan-peraturan tersebut dapat menyebabkan keterbatasan akses pendidikan tinggi utamanya di Unhas. Universitas Hasanuddin dengan akronim Unhas yang sedianya berstatus Perguruan Tinggi Negeri lambat laun bertransformasi menjadi Universitas-Hampir-Swasta.

Tan Malaka sendiri pernah bilang bahwasanya tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan serta memperhalus perasaan. Lalu  Paulo Freire bilang dalam buku Pendidikan Kaum Tertindas, Pendidikan sejatinya jalan menuju penyadaran, pencerahan dan pembebasan manusia sebagai harkatnya yang paling mendasar. Karena sejatinya pendidikan merupakan aspek penting yang dibutuhkan untuk sebuah negara untuk dapat lebih baik. Mari ciptakan pendidikan untuk semua warga negara seperti amanah UUD 1945 demi mewujudkan salah cita-cita bangsa, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.

Karena diam kini bukanlah emas, melainkan diam kini adalah bentuk pengkhianatan.

Silahkan bangun kampus kelas dunia, tapi jangan pangkas kesempatan putra-putri bangsa untuk memperoleh pendidikan!

One thought on “GAGASAN UNTUK KAMPUS MERAHKU Oleh Mifta Achmad Faiz”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *