Unit Kegiatan Bersama Perpustakaan HMTL FT-UH Periode 2020/2021 telah melaksanakan “Ayo Menulis #2” berupa Lomba Menulis Essay. Kegiatan ini merupakan rangkaian dari program kerja FILTRASI 2021. Lomba ini diikuti oleh anggota HMTL FT-UH dan umum dengan mengusung tema “ Peran Mahasiswa Dalam Mewujudkan SDGs di Era New Normal ”. Lomba ini dibuka pada 30 Maret 2021 hingga 1 April 2021.
Pemenang kegiatan Ayo Menulis #2 atas nama Muhammad Fadhil Banjar dari Universitas Hasanuddin dengan judul karya “Habiatus Dalam Aksi”
Adapun karya dari pemenang:
Selama satu dekade belakangan ini, Indonesia tengah mengalami masa transisi demografi (Maryati, 2015). Masa transisi ini mengindikasikan Indonesia yang kian mendekati bonus demografi yang didefinisikan Bappenas sebagai suatu masa dengan lonjakan golongan usia produktif yang begitu meroket dibandingkan dengan golongan usia nonproduktif. Pada Januari 2021, Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia melalui situs resminya telah merilis hasil sensus penduduk tahun 2020. Hasil sensus menunjukkan bahwa struktur umum penduduk Indonesia didominasi oleh penduduk usia 8-55 tahun. Golongan usia yang mendominasi tersebut sudah pasti mencakup mahasiswa.
Siswoyo (2007) mendefinisikan mahasiswa sebagai seseorang yang sedang menempuh studi di jenjang perguruan tinggi. Jika menelisik kuota penerimaan mahasiswa baru seluruh Indonesia khususnya di universitas negeri, kuota penerimaan mahasiswanya semakin tahun semakin bertambah. Dengan banyaknya pemuda calon pemimpin bangsa, Indonesia dapat menjadi lahan potensial untuk pengembangan kualitas sumber daya manusia. Di sisi lain, banyaknya populasi pemuda yang sudah pasti meningkatkan jumlah populasi penduduk dunia dapat menjadi ancaman besar bagi kelestarian lingkungan. Sebagai bentuk pencegahan sekaligus pengendalian, pimpinan dari berbagai negara telah sepakat dengan dicetuskannya Suistainable Development Goals (SDGs). United Cities and Local Governments (UCLG) menjelaskan bahwa SDGs merupakan 17 tujuan yang disertakan dalam rangkaian agenda pembangunan berkelanjutan tahun 2030.
Hal yang menjadi tantangan terberat saat ini adalah bagaimana mahasiswa dapat merespon kondisi lingkungan yang kian tak terkendali berdasarkan SDGs khususnya tujuan ke enam “Air Bersih dan Sanitasi Layak” terlebih lagi di saat pandemi Covid-19 yang tak kunjung usai. Seutas benang merah dapat menjadi korelasi sistematis untuk menganalisis tantangan ini.
Jika ingin mencari data mengenai kualitas air di Indonesia khususnya air sungai, sepertinya kita tidak perlu bersusah payah untuk mengakses halamn resmi kementerian terkait atau referensi yang sangat terpercaya. Cukup mencarinya secara bebas di “Google”, maka mata ini akan disajikan dengan pemandangan yang begitu kotor dari layar gawai. Begitu banyak sungai di Indonesia yang sudah tercemar padahal sungai tersebut menjadi salah satu unsur kehidupan. Itu baru sungai, belum lautan. Selain kaya akan SDA, Indonesia juga kaya akan sampah plastik. Entah berapa ton lagi makhluk yang tinggal di perairan harus kenyang dengan benda asing yang sangat sulit terurai itu.
Saat ini mahasiswa begitu digembor-gemborkan untuk selalu berinovasi. Begitu banyak event yang membuat mahasiswa selalu berkompetisi untuk menciptakan inovasi. Tapi satu hal yang disayangkan, banyaknya inovasi yang disusun justru sangat minim yang direalisasikan. Kekecewaan tak jarang menghampiri kompetisi lomba menulis karena pihak pelaksana hanya mengadakan lomba begitu saja, ketika orang-orang menang, idenya banyak yang sama sekali tidak diteteruskan ke ranah yang lebih intens. Ironi ini terus memacu mahasiswa hingga lupa bahwa hakikat sesungguhnya sebuah masalah tak melulu harus dituntaskan dengan sebuah inovasi. Hal-hal kecil yang sangat sederhana terkadang jauh lebih baik dibandingkan tumpukan kertas proposal karya tulis ilmiah. Analogi yang dapat diterapkan ialah bagaikan pengobatan pasien kanker. Ketika seseorang ingi diupayakan kesembuhannya, yang menjadi fokus utama seharusnya ialah bagaimana sel maternal kankernya dapat dimatikan, tak sebatas hanya tindakan biopsi karena jika tidak, kanker akan tumbuh lagi sebab sel maternal yang tak tuntas diangkat akan membelah lagi. Sama halnya dengan pengelolaan air di dunia ini. Coba sejenak untuk berpikir bahwa manusia lah yang sebenarnya pengotor bumi ini. Kita perlu memikirkan hal kecil namun berdampak besar yang dapat dilakukan bagi semua orang. Jika seandainya kita terus mengandalkan produk inovasi, rakyat kecil tak akan mampu menjangkaunya. Inilah yang harus diupayakan, yakni bagaimana mahasiswa sebagai agent of change dan agent of social control mampu menjadi pihak yang tak pernah lelah untuk mengabdi ke masyarakat.
Di saat pandemi ini, sampah medis ternyata turut mencemari perairan. Hal ini semakin sulit dikendalikan. Maka, yang perlu diubah adalah mind set sederhana kita.
“Watch your thoughts, for they become words. Watch your words, for they become actions. Watch your actions, for they become habits. Watch your habits, for they become your character. And watch your character, for it becomes your destiny. What we think, we become.”
Terjemahan:
“Perhatikan pikiranmu, karena itu menjadi kata-kata. Perhatikan kata-katamu, karena itu menjadi tindakan. Perhatikan tindakanmu, karena itu menjadi kebiasaan. Perhatikan kebiasaanmu, karena itu menjadi karaktermu. Dan perhatikan karaktermu, karena itu menjadi takdirmu. Apa yang kami pikirkan, kami akan menjadi demikian.
Pernyataan tersebut dilontarkan oleh pemeran Margaret Thatcher dalam sebuah film yang mengisahkan tentang dirinya. Pada akhirnya kebiasaan akan menjadi karakter kita. Seperti itulah yang seharusnya menjadi pedoman pemuda Indonesia.
Pada acara talk show di salah satu stasiun televisi swasta di Indonesia, bintang tamu yang diundang saat itu adalah beberapa menteri dalam kabinet kepresidenan Joko Widodo. Salah satu menteri yang hadir adalah Menteri BUMN, Erick Thohir. Beliau mengatakan bahwa Presiden Jokowi kerap kali dalam pidatonya mengatakan “Jangan hanya send, tapi deliver”. Sebuah prinsip yang dapat diterapkan pemuda sekarang. Tidak sebatas ucapan, tapi lebih kepada ajakan. Dalam kehidupan sehari-hari, orang tua penulis kerap membiasakan untuk “pandai memahami limgkungan”. Sebagai contoh, orang tua penulis kerap kali mengingatkan beberapa hal sebagai berikut.
- Kalau buat tempat jemuran, buat di atas tanah yang permukaannya telah ditutupi dengan batu-batu. Dibuat diatas tanah agar air jemuran yang menetes bisa langsung terserap di dalam tanah. Kenapa diletakan batu diatas permukaan tanah? Supaya air jemuran yang telah diserap tanah tadi tidak cepat menguap.
- Jangan lupa menampung air hujan sebagai bentuk penghematan air. Gunakan air hujan untuk membersihkan hasil metabolisme yang kita keluarkan di toilet.
- Tampung air cucian beras dan kalau perlu campurkan dengan sampah organik seperti kulit buah dan sisa teh sehingga bisa digunakan untuk menyiram bunga sekaligus sebagai pupuk alami.
Sebelum mencetuskan hal-hal baru dalam menyelesaikan suatu permasalahan, hendaknya pemahaman tentang nilai-nilai dasar perlu diperkuat. Pasalnya, tidak menutup kemungkinan hal-hal mendasar akan menjadi solusi bagi masalah yang besar sekalipun. Membiasakan diri melakukan apa yang telah ada atau melakukan sesuatu yang memang sejak dini sudah harus diterapkan dapat menjadi amunisi yang ampuh dalam memecahkan masalah.
Meskipun pembahasan esai ini begitu sederhana, tapi sekiranya dampak positif yang akan timbul sedikit demi sedikit. Mari kita selamatkan dunia, tanpa harus menunggu sesuatu yang cemerlang.
Salam Save Our Earth!